Mewaspadai Sensing Culture, penyebab Kekosongan Jiwa - AKSINOSIA(Akselerasi Inovasi Asia)

Mewaspadai Sensing Culture, penyebab Kekosongan Jiwa

Share:


Penulis : Bagus Riyono (Ketua Gerakan Indonesia Beradab)

Akhir akhir ini banyak peristiwa yang mengejutkan dan membuat kita merasa miris. Peristiwa terakhir yang sangat mengerikan adalah bermunculannya Predator anak. Predator anak ini ada dua macam, pertama adalah para pedophilia dan yang kedua adalah penjual organ dan tentu saja yang lebih jahat lagi adalah para pembelinya. Kalau dulu ketika anak diculik orang tua akan diperas untuk memberikan uang tebusan. Waktu itu yang berisiko adalah anak anak orang kaya. Tapi sekarang penculik tidak lagi minta tebusan karena anak itu sendiri merupakan barang dagangan yang bisa mendatangkan keuntungan FANTASTIS. 

Kasus-kasus lain yang tidak masuk di akal adalah pembunuhan yang dilakukan oleh anak muda yang sekolah baik-baik dan tergolong pintar. Anak-anak muda ini membunuh dengan alasan yang tidak masuk akal, misalnya karena "iseng" atau karena hanya rebutan HP. Pembunuhan ada yang dilakukan secara berkelompok maupun sendiri. Ada beberapa kasus yang disertai pemerkosaan yang keji. Pelakunya bukan "penjahat" atau psikopat atau "orang gila", namun remaja tanggung yang tidak seorangpun menduga bahwa mereka akan tega melakukan kekejian itu. Apa yang terjadi pada mereka? Apakah perilaku itu muncul tiba-tiba? Apa pemicunya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijelaskan dengan penjelasan-penjelasan klise yang selama ini kita dengar, misalnya masalah ekonomi, karena stress, atau karena frustrasi. Jawabannya adalah telah berjangkitnya apa yang disebut "Sensing Culture".

Secara umum Sensing adalah inderawi. Sensing Culture adalah budaya indrawi tanpa kedalaman tanpa alasan tanpa penghayatan. Range dari Sensing Culture ini sangat luas dan berjenjang. Intinya adalah kecenderungan untuk mencari sensasi tanpa alasan dan tanpa tujuan. Atau mudah terpengaruh informasi sensasional tanpa menggunakan akalnya dan tidak peduli pada dampaknya terhadap orang lain. Mereka yang hanya terpesona pada materi, infrastruktur, pembangunan fisik yang dapat dinikmati mata dengan meninggalkan reasoning, empati pada rakyat kecil dan Aqidah adalah mereka yang menderita sensing culture. 

Yang penting mereka bisa menikmati hidup nya yang ukurannya adalah Indrawi, pemandangan Indah, makan enak,  memuaskan kulit kulit nya. Pada tingkatan yang akut adalah perilaku menyakiti atau membunuh orang lain yang dia nikmati karena dia merasakan sensasi ketika melakukannya. Termasuk di dalamnya adalah perilaku seks menyimpang yang sering disebut sebagai "anonymous sex" yang dipicu oleh pornografi. Sensing Culture adalah dampak dari materialisme liberalisme dan hedonisme.
Hoax juga bagian dari sensing culture. Jika sensing culture ini menjangkiti suatu masyarakat maka masyarakat itu akan lemah dan mudah diombang-ambingkan. Ia bagai anai anai bertebaran. Kalau bahasa Jawanya "kleyang kabur kanginan". Mungkin semakna dengan buih ombak yang heboh tapi tak ada apa-apanya. Sense adalah kulit. Dalam jiwa yang sehat sense juga bekerja dengan baik. Namun kalau "hanya" sense yang bekerja maka jiwa mengalami kekosongan. Fisiknya kelihatan sama tetapi dalamnya kosong. Fenomenanya universal. Sensing Culture hanyalah istilah yang menjelaskan fenomena itu semua menjadi satu pemahaman yang eksplanatif. Fenomena "Om Telolet Om" adalah salah satu gejala Sensing Culture yang ringan. Tidak ada alasan tidak ada tujuan selain mencari sensasi.

Sensing adalah bagian terluar dari lapisan-lapisan jiwa manusia. Lapisan yang lebih dalam dari jiwa manusia adalah "reasoning", " empathy", dan terdalam adalah "spiritual". Lapisan sensing adalah lapisan kulit atau indera yang terdiri dari, penglihatan, pendengaran, pengecapan (lidah), penciuman, dan perabaan (kulit). Indera ini berfungsi untuk mendeteksi lingkungan yang sifatnya material, misalnya pemandangan yang indah, suara merdu, makanan enak, aroma yang harum dan rangsangan-rangsangan terhadap kulit yang menimbulkan kenikmatan. Sensing ini adalah lapisan jiwa yang menjadi konektor antara jiwa dan raga. Sensing adalah lapisan jiwa yang berinteraksi langsung dengan jasad dan lingkungan material yang terhubung dengan jasad manusia. Sense ini akan menimbulkan efek yang disebut sensasi terhadap jiwa manusia. Ada perasaan geriap yang akan dirasakan oleh seseorang yang mendapatkan sensasi ini. Perasaan itu  ibarat kilatan cahaya yang memancar sekejap kemudian hilang. Sensasi itu akan menimbulkan kesan yang lebih mendalam ketika menembus lapisan jiwa ke dua yaitu "reasoning".

Reasoning adalah lapisan jiwa yang memilih alasan dan tujuan dari perilaku. Reasoning berorientasi pada kebermanfaatan sehingga apa yang dilakukan sensing lebih bermakna dan berkesan serta beralasan. Reasoning juga mengendalikan sensing untuk memilih atau menolak sensasi-sensasi lingkungan. Reasoning menentukan mana yang perlu dan mana yang tidak berlu menurut logikanya. Sementara itu Empati adalah penghubung jiwa yang satu dengan jiwa lainnya. Empati memunculkan rasa iba, tenggang rasa, dan kasih sayang antar manusia. Empati adalah landasan dari nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan Spiritual adalah keyakinan akan Allah dan kehidupan akherat. Jiwa yang kuat dan penuh adalah yang disinari oleh lapisan spiritual. Karena itu jiwa spiritual membuat seorang individu menjadi kuat dan tahan banting karena dia percaya kejidupan hakiki adalah kehidupan akherat.



Sensing Culture tumbuh karena manusia semakin materialistik dan terlalu memanjakan inderanya. Mereka terlalu fokus pada pemuasan sensasi-sensasi indrawinya sehingga lapisan-lapisan jiwa yang lebih dalam secara perlahan-lahan menjadi tumpul dan membatu. Perilaku manusia yang sudah terjangkiti sensing culture menjadi cenderung pada materi dan semakin menyepelekan dan melupakan jiwa spiritualnya. Lama kelamaan jiwa empatinya yang tumpul dan pada akhirnya reasoningnya mati juga. Oleh karena itu penderita sensing culture tidak peduli dengan alasan atau tujuan. Dia juga tidak lagi dapat merasakan empati dan menganggap akherat itu hanya ilusi.

Referensi

Ibnu Khaldun. (1377). Muqaddimah: An Introduction of History (F. Rosenthal, Trans.). New Jersey: Princeton University Press.

Sorokin, P . (1928). Contemporary Sociological Theories. New York: Harper & Row


No comments